Boma Narakasura Raja yang tewas ditangan ayahnya sendiri

boma narakasura dan samba

Nama Boma Narakasura sebenarnya dua nama yang digabung menjadi satu oleh Sitija, putra Batara Wisnu dengan Dewi Pretiwi. Narakasura adalah nama raja Surateleng. Ia kemenakan sepupu Prabu Bomantara, raja negara . Prajatisa atau Trajutresna.

Namun kedua raja itu berselisih karena Prabu Bomantara ingin memasukkan Surateleng menjadi daerah jajahannya, sehingga Prabu Narakasura mempertahankan negaranya.

Bacaan Lainnya
Boma Narakasura

Dalam pertempuran, justru Prabu Bomantara yang gugur dan negara Prajatisa disatukan dengan Surateleng oleh Prabu Narakasura.

Selanjutnya Prabu Narakasura berhasil memperluas jajahannya dengan menguasai daerah Tunggarana, perbatasan negara Trajutresna dengan negara Pringgondani yang dikuasai oleh Prabu Harimba.

Keberhasilan tersebut membuat Prabu Narakasura terus berambisi ingin memperluas daerah jajahannya, sehingga negara Dwarawati diserangnya pula.

Pada waktu itu, Raden Sitija mendapat cerita dari pamannya Bambang Pretiwanggana bahwa Batara Wisnu saat ini sedang menjelma kepada raja Dwarawati bernama Prabu Kresna.

Berbekal pusaka Cangkok Wijayamulya, Sitija kemudian pergi ke negara Dwarawati ingin menghadap ayahnya.

Dalam perjalanan, ia merasa bingung karena tidak berteman, namun karena Sitija membawa Cangkok Wijayamulya, pusaka itu dicobanya untuk menghidupkan sesaji yang ditemuinya dalam perjalanan.

Ancak tempat sesaji, panggang burung dara dan sesaji lainnya dihidupkan dengan pusaka pemberian ibunya tersebut. Ancak ternyata bisa hidup menjadi manusia, sehingga oleh Sitija dinamakan Ancakugra, yang lain dinamakan Mahudara, Yayagriwa kemudian dijadikan teman.

Setelah bertemu Sri Kresna dan menyerahkan pusaka Cangkok Wijayamulya sebagai barang bukti, akhirnya Sri Kresna mengakui Sitija sebagai putranya. Namun karena negara Dwarawati diserang pasukan Surateleng, Sitija disuruh membinasakan musuh tersebut.

Didalam peperangan itu, Sitija memperoleh kemenangan gemilang karena berkat aji Pancasonya yang dimilikinya. Aji Pancasonya berkasiat tidak akan mati jika tubuhnya masih menyentuh tanah, sehingga pasukan Surateleng dapat dibinasakan.

Prabu Narakasura tewas dibunuh oleh Sitija, kemudian negaranya diambil alih. Hari itu juga Sitija menyatakan dirinya menjadi raja Surateleng dan Trajutresna dengan gelar Prabu Suteja/Sitija. Nama Bomantara dan Narakasura digabungkan menjadi Boma Narakasura dan dipakai untuk nama Sitija.

Prabu Sitija kemudian kawin dengan Dewi Hagnyanawati, putri Prabu Karentaknyana raja negara Calamadu. Adik Prabu Karekatnyana yaitu Ditya Pancatnyana diminta menjadi pendamping Sitija di Trajutresna menduduki jabatan patih, sedangkan orang-orangnya Prabu Narakasura menduduki jabatan di bawah kekuasaan patih Pancatnyana, yang masing-masing bagian dikepalai oleh Yayahgriwa, Ancakogra dan Mahudara.

Perkawinan Sitija dengan Dewi Hagnyanawati kemudian menurunkan putera bernama Raden Kismaka. Serat Bhomakavya mengisahkan akhir riwayat Samba dan Sitija. Diawali dengan perselisihan keluarga antara Boma dan Samba yang berakhir tewasnya Samba yang mati dicincang oleh Sitija (lihat Raden Samba Ksatriya yang tewas karena wanita).

Rangkaian berikutnya Sitija tidak puas kepada dewa persoalan Kikis Tunggarana. Kisahnya yaitu pada masa pemerintahan Prabu Arimbaji, negara Pringgondani berselisih paham menyangkut wilayah Tunggarana dengan raja Prajatisa Prabu Bomantara.

boma narakasura wanda ireng

Persoalan Tunggarana itu tak kunjung selesai hingga masa pemerintahan Prabu Harimba dengan Prabu Narakasura raja Surateleng.

Akhirnya dalam sebuah pertempuran, Prabu Narakasura berhasil menguasai wilayah Tunggarana. Namun setelah Prajatisa diperintah Sitija dan Pringgondani diperintah Gatutkaca, persoalan sengketa wilayah Tunggarana kembali muncul ke permukaan dan antara Boma dan Gatutkaca saling bermusuhan tak kunjung damai.

Karena peperangan Boma dan Gatutkaca selalu menimbulkan gara-gara, akhirnya Batara Guru memutuskan bahwa wilayah Tunggarana menjadi wilayah mandiri terlepas dari kekuasaan Trajutresna maupun Pringgondani.

Prabu Sitija menerima keputusan tersebut, namun belakangan ia menyerang Suralaya karena dihasut oleh patih Pancatnyana agar mempertahankan wilayah Tunggarana, karena sejak dulu merupakan daerah jajahan Surateleng.

Dosa Boma Narakasura sudah tak mungkin dapat diampuni lagi, karena ia melawan kekuasaan dewa, membunuh Samba secara keji sehingga Batara Wisnu menjadi malu sendiri melihat tabiat putranya itu.

Baca juga: Pragota Patih Mandura berwatak jujur dan terus terang

Melalui tangan Sri Kresna, Boma akhirnya dibinasakan menggunakan senjata cakra. Tubuhnya ditaruh di atas anjang-anjang agar tidak menyentuh bumi, dan sejak itu maka tamatlah riwayat Sitija Boma Narakasura dengan segala kebiadaban dan keangkaramurkaannya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *