Raden Samba adalah putra Prabu Kresna raja Dwarawati dengan permaisuri Dewi Jembawati. Ia mempunyai saudara kandung bernama Raden Gunadewa yang berwujud wanara (kera) yang tinggal bersama kakeknya bernama Resi Jembawan di Gadamadana.
Raden Samba berkedudukan di kasatriyan Paranggaruda. Saudara seayah lain ibu antara lain Raden Sarana, Partadewa (Partajumena) dan Dewi Titisari, putra Dewi Rukmini, Raden Setyaka putra Dewi Setyaboma dan Sitija, Siti Sendari putra Dewi Pertiwi.

Baca juga: Pragota Patih Mandura berwatak jujur dan terus terang
Nama lain Samba yaitu Wisnubrata, Kusumakilatmaka. Istri Raden Samba bernama Dewi Yatnyawati, putri Prabu Karekatnyana raja Tasikmadu.
Prabu Karekatnyana adalah saudara Prabu Karentaknyana, raja negeri Calamadu yang mempunyai seorang putri bernama Dewi Hagnyanawati kemudian menjadi permaisuri Sitija.
Perkawinan Yatnyawati dengan Samba kemudian menurunkan seorang putra bernama Raden Dwara, menjadi patih negara Yawastina mendampingi Prabu Parikesit.
Samba dan Hagnyanawati merupakan titisan Batara Ulamdrema dan Batari Ulamdremi, yaitu pasangan suami istri Hapsara dan Hapsari, sehingga dari peristiwa ini merupakan awal sebuah petaka dalam keluarga Sri Kresna.
Raden Samba akhirnya jatuh cinta dengan Dewi Hagnyanawati, demikian sebaliknya, Dewi Hagnyanawati menyambut gayung cinta Samba sehingga terjadi perselingkuhan.
Prabu Bhoma Narakasura menjadi marah setelah mengetahui istrinya berselingkuh dengan Samba, adiknya. Namun akhirnya Bhoma mau menerima peristiwa tersebut sebagai takdir.
Suatu hari Bhoma menghadap Sri Kresna, ayahnya dan membicarakan persoalan keluarganya itu dengan dihadiri Samba. Bhoma menyerahkan istrinya, Dewi Hagnyanawati karena keduanya sudah saling mencintai.
Samba sangat berterima kasih atas kebijaksanaan saudara tuanya itu, sehingga ia segera memboyong Hagnyanawati ke Paranggaruda.
Adalah patih Pancatnyana, Yayahgriwa, Mahudara yang membakar amarah rajanya. Kepada Prabu Bhoma, Pancatnyana menyampaikan berita fiktif atau rekayasa yang isinya Samba mengatakan bahwa raja Trajutresna Prabu Bhoma Narakasura adalah raja waria alias banci/bencong.
Ia menyerahkan permaisurinya karena untuk menutupi ketidak jantanannya dengan berpura-pura berbaik hati, padahal sebenarnya Bhoma raja yang bodoh, tidak cakap, dungu dan penakut.
Mendengar ucapan patih Pancatnyana itu, telinga Prabu Sitija mendadak nampak merah. Api amarahnya berkobar dan hari itu juga Samba dipanggil ke Trajutresna kemudian dihajar.
Lagi-lagi Pancatnyana membuat siasat menyulut api amarah Bhoma. Ketika Samba merintih kesakitan, Pancatnyana malah mengatakan bahwa Samba merintih kesakitan, Pancatnyana malah mengatakan bahwa Samba merintih itu hanyalah berpura-pura.
Dengan matanya yang dikedip-kedipkan jelas Samba menghina Bhoma sebagai raja bencong. Bhoma kian mengganas, mata Samba dicungkil dua-duanya.
Gantian Ancakugra yang membakar Bhoma, ia mengatakan meskipun matanya sudah diambil, Samba masih sempat tersenyum menyindir bahwa ia akan pulih lagi setelah disembuhkan dengan Kembang Wijayakusuma milik Sri Kresna.
Kebiadaban Bhoma kian menjadi. Agar Samba tidak bisa dihidupkan lagi dengan pusaka Kembang Wijayakusuma, akhirnya Samba dicincang. Tangannya diputus dua-duanya, lalu kedua kakinya dipotong, mulutnya dirobek sehingga mayat Samba sudah tidak utuh lagi.
Baca juga: Setyaki senopati Dwarawati yang tewas dalam keadaan mabuk
Lakon gugurnya Samba tersebut dikenal dengan nama Samba Sebit atau Samba Juwing, merupakan lakon yang sangat keramat untuk dipergelarkan, karena dipercaya membawa pengaruh-pengaruh yang tidak baik.
Bentuk/Wanda wayang Samba yaitu Wanda Rungsit, Penganten, Geblag dan Wanda Banjet.